Senin, 31 Oktober 2011

Pendidikan adalah hak setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, semestinya tidak ada alasan untuk mendiskriminasikan ataupun menelantarkan pendidikan kaum perempuan. Ini berarti perempuan bisa belajar bidang apa saja. Memang secara umum sebagaian besar orang tua di Indonesia saat ini sudah mulai menyadari akan pentingnya sekolah bagi putra-putrinya namun ada sebagian yang masih memiliki pandangan yang timpang terhadap pendidikan anak perempuannya. Jika di telusuri ketimpangan pendidikan perempuan di Indonesia ini dikarenakan oleh beberapa hal antara lain: masyarakat masih berpandangan male oriented atau lebih mengutamakan pendidikan anak laki-laki dari pada anak perempuannya. 

Male oriented juga berkaitan dengan budaya yang telah mengakar kuat dengan anggapan bahwa perempuan tidak sepantasnya berpendidikan tinggi karena nantinya hanya akan ke dapur. Persepsi ini tidak diluruskan dan tidak disadari bahwa sesungguhnya peran di dapur pun menuntut ilmu dan pengetahuan. Tanpa tahu nutrisi yang baik yang diperlukan tubuh untuk kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak, mustahil perempuan dapat menyiapkan menu makanan dengan baik dan menarik sesuai dengan kebutuhan gizi keluarga. Budaya bahwa perempuan adalah konco wingking, sehingga tidak perlu menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan faktor kemiskinan atau keterbatasan penghasilan orang tua kadang-kadang juga dapat memarginalkan pendidikan perempuan. Harus diakui faktor biaya pendidikan saat ini yang dirasa masih mahal merupakan kendala utama bagi anak anak kurang mampu untuk terus menempuh pendidikan. 

Selain faktor-faktor di atas, adanya trens bahwa perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi kemudian tidak mengembangkan karirnya dan lebih memilih kembali ke ruang domistik atau memilih menjadi ibu rumah tangga, banyak menimbulkan persepsi bahwa memang tugas perempuan itu mengurus rumah tangga dan ini tidak dianggap sebagai pilihan yang disadari secara penuh. Pada zaman yang modern ini boleh saja perempuan memilih menjadi pengurus rumah tangga (ibu rumah tangga) secara total tetapi hendaknya menjadi ibu rumah tangga yang berwawasan luas, handal dan berdaya. Hal ini dapat dicapai salah satunya dengan pendidikan, pelatihan, terus belajar untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.

Menurut definisi, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian dan kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU RI No. 20 th 2003). Dari definisi tersebut, ada beberapa kata kunci yang harus dimaknai terlebih dahulu. “Usaha sadar dan terencana” berarti suatu upaya yang dilakukan dengan terencana, sistematis, mempunyai tujuan yang dapat diukur (terukur) dan metodologi yang sesuai dengan peserta didik. Ada persyaratan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang membuat peserta didik menjadi aktif untuk mengembangkan potensi dirinya, berarti proses belajar harus demokratis yang berorientasi pada kebutuhan, minat dan bakat peserta didik. Tujuan pendidikan secara implisit adalah untuk membentuk kepribadian yang kuat, kecerdasan, keterampilan dan akhlak mulia yang berguna untuk dirinya, bangsa dan negara.

Ada perbedaan karakteristik antara pendidikan untuk anak-anak dan pendidikan untuk orang dewasa. Pendidikan untuk anak-anak bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap agar peserta didik mampu untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan untuk anak-anak (khususnya pendidikan TK – SMP) tidak disiapkan untuk memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan dalam jangka pendek. Karena Undang-Undang ketenaga kerjaan/Undang-undang perlindungan anak, tidak mengizinkan mempekerjakan anak-anak dibawah usia 15 tahun. Pendidikan menengah dan tinggi (SMA- PT), terutama jurusan kejuruan (SMK dll) bertujuan untuk mempersiapkan tenaga kerja untuk level staf teknis di perusahaan atau perkantoran. Pendidikan dari jenjang SD – PT disebut pendidikan formal, dengan ciri-ciri mempunyai ketentuan waktu tertentu untuk setiap jenjang, mempunyai kurikulum yang diatur pemerintah dan ujian harus diselenggarakan oleh pemerintah atau mengacu kepada ketentuan pemerintah. Sedangkan pendidikan orang dewasa disebut sebagai pendidikan Non formal, dengan ciri-ciri antara lain lama waktu belajar fleksibel sesuai dengan kebutuhan. Yang paling prinsip dari pendidikan untuk orang dewasa adalah hasil pendidikannya harus dapat dirasakan sesegera mungkin, jika perlu tidak harus menunggu proses pendidikan selesai. Contoh : kursus membuat kue, selesai kursus peserta didik diharapkan telah mampu membuat kue seperti yang sudah diajarkan didalam kursus.


PESERTA DIDIK

Didalam UU SISDIKNAS (UU No 20 th 2003), yang dimaksud sebagai peserta didik adalah semua anggota masyarakat yang ikut didalam pendidikan pada jenjang tersebut. Tidak ada perbedaan untuk anak laki-laki dan perempuan didalam mengikuti pendidikan sejak TK – PT. Tetapi mengapa jumlah peserta didik perempuan terutama untuk pendidikan menengah keatas selalu lebih rendah dari pada jumlah peserta didik laki-laki? Didalam hal ini ada peraturan tidak tertulis yang terdapat didalam masyarakat yang membedakan perlakuan untuk pendidikan anak- laki-laki dan perempuan. Ini yang disebut dengan perbedaan gender, yaitu perbedaan laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh pengaruh adat, budaya dan penafsiran agama. Sebagian besar budaya masyarakat di Indonesia, lebih mementingkan pendidikan untuk anak laki-laki dari pada untuk anak perempuan. Pendidikan anak perempuan seakan-akan menjadi prioritas yang kedua atau ketiga dan seterusnya, jika sebuah keluarga mempunyai keterbatasan dana. Bahkan ada pula keluarga yang berkecukupan secara ekonomi, tetap tidak memberikan kesempatan yang sama kepada anak laki-laki dan perempuannya karena berbagai stereotipe dan pelabelan yang ada di masyarakat. Sebagai contoh : banyak keyakinan di masyarakat, bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena akhirnya akan masuk dapur juga menjadi ibu rumah tangga. Sedangkan anak laki-laki harus disekolahkan yang tinggi jika perlu dengan uang pinjaman atau menjual aset yang ada, karena nanti setelah dewasa akan menjadi kepala rumah tangga yang harus mencari nafkah untuk keluarganya. Bahkan sebagian orang tua mengharapkan anak laki-lakinya kelak akan menjadi sumber nafkah yang dapat membantu orang tuanya yang telah lanjut usia dan tidak menghasilkan uang lagi. Pengaruh budaya, adat dan penafsiran agama yang membuat perempuan menjadi tersingkir atau dinomor duakan ini disebut dengan faktor-faktor penyebab perbedaan gender. Akibat dari adanya perbedaan gender tersebut bermacam-macam yang membuat perempuan menjadi miskin, tidak punya akses dan kontrol terhadap sumberdaya, seperti lapangan pekerjaan yang terbatas; ini disebut dengan ketidak adilan gender.

Akibat dari ketidak adilan gender tersebut, ada pembagian lapangan pekerjaan untuk laki-laki dan perempuan, contoh : pekerjaan sebagai sekretaris pada umumnya diminati oleh perempuan dan dianggap aneh jika ada laki-laki yang mendaftar di sekolah sekretaris. Pekerjaan sopir dan kondektur dianggap pekerjaan keras maka dianggap cocok untuk laki-laki dan dianggap aneh jika ada sopir dan kondektur bis perempuan. Pekerjaan top manajerial seperti direktur, direktur utama dan komisaris, pada umumnya dijabat oleh laki-laki karena dianggap berat dan penuh tantangan, perlu banyak menggunakan otak dsb. Sebenarnya secara umum, tidak boleh ada perlakukan berbeda didalam lapangan pekerjaan baik untuk laki-laki maupun perempuan, semua harus didasarkan pada profesionalitas. Tetapi ketidak adilan gender sudah kuat berakar dimasyarakat dan secara tidak sadar tertuang didalam kebijakan negara. Hampir semua jabatan di dalam struktur pemerintah dan departemen, hanya mempunyai kuota sedikit untuk posisi top manajemen yang dijabat perempuan. Didalam pasar kerja bebas, sebenarnya yang diperlukan adalah pendidikan, keterampilan dan keahlian untuk menempatkan posisi seorang pekerja. Secara logika teori, semakin tinggi pendidikan, dan keterampilan seseorang maka semakin mudah untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi (diatas UMR). Dapat dikatakan secara teoretis, pendidikan berbanding lurus dengan kesempatan kerja.

0 komentar:

Posting Komentar